Minggu, 25 November 2018

Menjawab Kontroversi Hak Pilih Disabilitas Mental

Jaminan Hak Bagi Penyandang Disabilitas

Diberikannya hak pilih pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sontak ramai menjadi perbincangan dan pemberitaan. Beragam pendapat dan pandangan dengan pemberian hak pilih tersebut. Ada yang tidak mempermasalahkan dengan argumentasi bahwa dalam undang-undang pemilu (UU RI Nomor 17 Tahun 2017) tidak ada larangan bagi orang dengan gangguan jiwa untuk memilih. Ada pula yang kontra dengan alasan menurut KUHP pasal 1330 terkait syarat sahnya perjanjian atau kontrak terutama berhubungan dengan kecakapan berbuat menurut hukum (capacity). Orang dengan gangguan jiwa dianggap tidak cakap untuk melakukan aktifitas hukum, termasuk memilih dalam pemilu.

Undang-undang terkait disabilitas sendiri diatur dalam UU RI No. 8 Tahun 2016. Menurut undang-undang tersebut (pasal 4), diabilitas meliputi diabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Penyandang disabilitas fisik diartikan sebagai terganggunya fungsi gerak, antara lain; amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, cerebal palsy (CP), akibat stroke, dan orang kecil. Penyandang disabilitas intelektual merupakan terganggunya fungsi pikir karena kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome. Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi panca indera; disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Disabilitas mental secara undang-undang terbagi menjadi dua; disabilitas psikososial (skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian)  dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, diantaranya autis dan hiperaktif. Mereka semua memiliki hak-hak yang dijamin oleh undang-undang, termasuk hak politik (pasal 5 ayat 1 poin h) dan secara rinci, hak politik untuk penyandang diabilitas ada pada Bagian Kesembilan, pasal 13.

Dalam dunia olah raga, penyandang disabilitas fisik, disabilitas intelektual, dan disabilitas sensorik memiliki kesempatan mengikuti ajang kompetisi para games. Asian Para Games 2018 yang telah diselenggarakan pada 6 Oktober 2018 sampai 13 Oktober 2018 merupakan salah satu gelaran olahraga bagi penyandang disabilitas. Sebanyak 512 nomor dari 18 cabang olah raga dengan yang dipertandingkan diikuti oleh penyandang disabilitas fisik, disabilitas intelektual, dan disabilitas sensorik dari berbagai negara yang telah memenuhi syarat pertandingan. Selain itu, untuk memastikan atlit ‘layak’ mengikuti pertandingan dan spirit sportifitas, atlit penyandang disabilitas harus melalui proses classification oleh classifier dari ahli olah raga dan ahli medis sesuai cabang yang dikompetisikan. Sebagai contoh; cabang ten pin bowling untuk intellectual impairment (disabilitas intelektual) yang hanya boleh diikuti oleh atlit dengan IQ di bawah rata-rata, classifier merupakan psikolog dan/atau psikiater yang telah memiliki sertifikasi sebagai classifier. Bagaimana dengan penyandang disabilitas psikososial?

Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Psikososial

Khalayak umum adakalanya menganggap bahwa yang dimaksud orang dengan gangguan jiwa itu semuanya sama. Sebagaimana ada pandangan bahwa orang yang masuk rumah sakit jiwa  adalah orang gila. Padahal, gangguan jiwa ada banyak ragamnya. Pasien yang mendapat pertolongan dari rumah sakit jiwa juga beragam diagnosisnya. Dalam UU RI No. 8 Tahun 2016, disabilitas mental ada disabilitas psikososial (skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, diantaranya autis dan hiperaktif. Jika mencermati jenis-jenis disabilitas gangguan jiwa tersebut, tidak semua dari penyandang disabilitas terganggu pikirannya sehingga tetap bisa menentukan pilihan. Jika gangguan jiwa yang dimaksud adalah skizofrenia yang umumnya ditandai gejala utamanya berupa halusinasi dan waham, maka perlu diketahui bahwa mereka ada masanya bisa seperti orang normal dan ada masanya kambuh. Obatnya yang tidak diminum sebagaimana yang disarankan dokter atau ada peristiwa yang membuatnya shock umumnya yang menjadikan kambuh lagi gangguannya.

Saya masih ingat, Januari 2014, klien saya saat praktek kerja profesi psikologi di RSJ Prof. Dr. Soerojo, Magelang datang bersama dengan ayahnya ke acara pernikahan saya. Ia seorang laki-laki, tinggal bersama ayahnya, dan diagnosis gangguan skizofrenia. Ia memiliki riwayat perawatan yang panjang dengan diagnosis gangguan jiwa. Beberapa kali rawat inap. Pada tahun 2014, ia didiagnosis mengalami gangguan skizofrenia residual. Orang yang baru kenal, secara sepintas melihatnya pasti tidak akan mengira ia memiliki gangguan. Pengobatan yang rutin dan dukungan keluarga merupakan faktor penting yang membuat gajala-gejala gangguan yang dialami tidak muncul. Pada waktu itu, klien saya tadi sudah selesai rawat inap yang hampir sebulan kemudian berlanjut rawat jalan karena kondisinya sudah membaik. Dengan demikian, hak pilih bagi penyandang disabilitas mental merupakan hal yang bisa diterima.  Selanjutnya, menjadi tanggung jawab semua pihak bahwa pilihan dari para penyandang disabilitas merupakan pilihan mereka sendiri sesuai dengan prinsip dalam pemilu.

*) Pariman, M.Psi, Psikolog. Dosen Luar Biasa IAIN Pekalongan

IG: @parimansiregar



0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Refrensi Psikologi: Temukan Refrensi Penting Di Sini. All Rights Reserved. Template by CB Blogger. Powered by Blogger.